Buku Memoar John Bolton Ungkap Kamp Konsentrasi Uighur Disetujui Trump

Buku Memoar John Bolton Ungkap Kamp Konsentrasi Uighur Disetujui Trump
Foto: Foto: 'The Room Where It Happened' karya John Bolton yang membongkar 'rahasia' Trump (AP Photo/Alex Brandon)


Jakarta – ‘Rahasia’ Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkuak ke publik satu per satu usai eks penasihat keamanan nasional AS, John Bolton membongkarnya lewat sebuah buku memoar. Buku berjudul ‘The Room Where It Happened’ itu lantas digugat oleh Trump.

Ada banyak rahasia pemerintah Trump yang diungkap oleh John Bolton di bukunya tersebut. Salah satunya terkait cerita Trump yang setuju dengan pembangunan kamp-kamp penahanan Muslim Uighur di China.

Seperti dilansir dari The Guardian, Rabu (18/6/2020) menurut Bolton, Trump setuju ketika Presiden China Xi Jinping membela soal penahanan warga Muslim Uighur di kamp-kamp penahanan.
“Menurut penerjemah kami,” Bolton menulis, “Trump mengatakan bahwa Xi harus melanjutkan pembangunan kamp-kamp itu, yang menurut Trump adalah hal yang tepat untuk dilakukan.”

Menurut dokumen partai Komunis yang bocor yang diterbitkan pada bulan November lalu, setidaknya 1 juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp di Xinjiang.

Selain itu, buku Bolton ini juga mengungkap upaya Trump untuk menutupi isu pemanfaatan email pribadi putrinya, Ivanka Trump untuk kegiatan pemerintahan, lewat kasus pembunuhan wartawan senior Saudi, Jamal Khashoggi.

Trump pun sudah membantah isi buku mantan penasihatnya itu. Seperti dilansir AFP, Jumat (19/6/2020), Trump dalam komentarnya via Twitter menyebut Bolton itu sebagai ‘sick puppy’, yang berarti sosok yang gila dan kejam.

Trump geram dan menyebut buku karya Bolton sebagai ‘kompilasi kebohongan dan kisah rekayasa, semua dimaksudkan untuk membuat saya terlihat buruk’.

“Banyak pernyataan konyol yang dia sebut soal saya yang tidak pernah dibuat, fiksi murni,” cetus Trump.

Sedangkan, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyebut mantan penasihat keamanan nasional itu sebagai ‘pengkhianat’. Dia membantah isi buku yang akan terbit pada 23 Juni ini.

“John Bolton menyebarkan sejumlah kebohongan, setengah kebenaran yang diputar dan kepalsuan langsung,” kata Pompeo dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir AFP, Kamis (19/6/2020).

“Sangat menyedihkan dan berbahaya bahwa peran publik terakhir John Bolton adalah peran pengkhianat yang merusak Amerika dengan melanggar kepercayaan sakralnya dengan rakyatnya,” cetus Pompeo.

Trump pun mengajukan gugatan hukum untuk mencegah penerbitan buku itu. Seperti dilansir AFP, Jumat (19/6/2020), Departemen Kehakiman AS mengajukan gugatan hukum terhadap Bolton ke pengadilan federal di Washington DC pada Selasa (16/6) waktu setempat.

Dalam gugatannya, Departemen Kehakiman AS berargumen bahwa penerbitan buku berjudul ‘The Room Where It Happened: A White House Memoir’ itu berisiko ‘membahayakan keamanan nasional’ melalui pengungkapan informasi rahasia yang diakses Bolton selama 17 bulan menjabat di Gedung Putih.

Gugatan itu menyebut Bolton gagal untuk membuat naskahnya diperiksa, yang berarti buku ini merupakan ‘pelanggaran yang jelas dari kesepakatan yang dia tandatangani sebagai syarat untuk pekerjaannya dan sebagai syarat untuk mendapatkan akses ke informasi yang sangat rahasia’.

Buku tersebut dijadwalkan terbit pada 23 Juni mendatang. Bolton yang dipecat Trump dari jabatannya sebagai Penasihat Keamanan Nasional AS pada September 2019 ini, menuduh Trump melakukan serangkaian pelanggaran yang bisa dimakzulkan, selain menekan Ukraina untuk menyelidiki rival politiknya atau capres AS dari Partai Demokrat, Joe Biden.

“Ini adalah buku yang Donald Trump tidak ingin Anda baca,” sebut penerbit Simon & Schuster dalam pernyataannya.

Pemerintahan Trump menyebut Bolton melakukan pelanggaran aturan kerahasiaan mendasar, setelah dia menolak untuk menunggu Dewan Keamanan Nasional (NSC) untuk memeriksa naskah bukunya, seperti yang diwajibkan. Dokumen pengadilan menyebut NSC mendapati ‘sejumlah besar informasi rahasia yang telah dimintakan kepada Tergugat (Bolton-red) untuk dihilangkan’.

“Tergugat tampaknya menjadi tidak puas dengan kecepatan tinjauan NSC,” demikian bunyi dokumen pengadilan tersebut.

Disebutkan lebih lanjut bahwa Bolton dan penerbitnya, Simon & Schuster, memutuskan untuk menerbitkan buku itu pada 23 Juni ‘tanpa Tergugat memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada NSC’ atau melengkapi proses peninjauan pra-penerbitan.

“Sederhananya, Tergugat melakukan tawar-menawar dengan Amerika Serikat sebagai syarat pekerjaannya pada salah satu posisi keamanan nasional paling sensitif dan paling penting dalam pemerintahan Amerika Serikat dan sekarang ingin untuk mengingkari tawaran itu,” demikian bunyi dokumen itu.

Putusan dari gugatan hukum itu belum dijatuhkan. Namun diketahui juga bahwa Departemen Kehakiman AS tengah berupaya mendapatkan perintah darurat untuk menghalangi penerbitan buku karya Bolton itu.

Pada Rabu (17/6) waktu setempat, Departemen Kehakiman AS mengajukan mosi untuk mendapatkan preliminary injunction, semacam perintah pengadilan pada tahap awal gugatan hukum yang melarang pihak-pihak yang terlibat dalam gugatan untuk bertindak demi menjaga status quo hingga putusan dijatuhkan.

Dalam mosi itu, Departemen Kehakiman AS meminta pengadilan untuk mengambil tindakan ‘demi mencegah munculnya bahaya bagi keamanan nasional jika manuskripnya diterbitkan ke dunia’.

Sumber: AFP,AP
Editor: Fajar shadiq

No comments:

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel